Beranda | Artikel
Sifat Masyiah Dan Iradah Allah Subhanahu Wa Taala
Rabu, 30 Januari 2019

SIFAT MASYI’AH DAN IRAADAH ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Semua yang terjadi di dunia ini adalah dengan iraadah dan masyi’ah (kehendak) Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Apa yang Allâh  kehendaki pasti terjadi, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Semua langit dan bumi, serta semua yang ada di antara keduanya adalah milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan berada di bawah kekuasaan-Nya, oleh karena itu tidak akan terjadi di kerajaan-Nya sesuatu yang tidak Dia kehendaki.

DALIL-DALIL AL-QUR’AN
Kemusyrikan orang-orang musyrik terjadi dengan kehendak Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكُوا ۗ وَمَا جَعَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ

Dan kalau Allâh menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan(Nya). Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka. [Al-An’am/6:107]

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi seluruhnya beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? [Yunus/10: 99]

Kemaksiatan dan kesesatan orang-orang musyrik terjadi dengan kehendak Allâh . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ ۖ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya. Dan kalau Allâh  menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggAllâh  mereka dan apa yang mereka ada-adakan. [Al-An’am/6:137]

Keberagaman agama di dunia terjadi dengan kehendak Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Sekiranya Allâh menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allâh hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allâh -lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. [Al-Maidah/5:48]

Seseorang mendapatkan petunjuk atau menjadi sesat, terjadi dengan kehendak Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Barangsiapa yang dikehendaki Allâh  (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allâh  (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus. [Al-An’am/6:39]

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ 

Barangsiapa yang Allâh  menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allâh  kesesatannya, niscaya Allâh  menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. [Al-An’am/6: 125]

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa apa yang Allâh kehendaki pasti terjadi, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.

Imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ini adalah bantahan kepada pendapat Al-Qadariyah dan Al-Mu’tazilah. Karena mereka menganggap bahwa Allâh menghendaki iman dari semua manusia, sedangkan orang kafir menghendaki kekafiran. Pendapat mereka ini rusak, tertolak, karena menyelisihi al-Kitab, as-Sunnah, dan akal sehat”.[Syarah ath-Thâhawiyah, 1/78]

KEHENDAK ALLÂH  SUBHANAHU WA TA’ALA TIDAK MENUNJUKKAN KECINTAANNYA
Sebagian orang beranggapan bahwa ketika Allâh menghendaki sesuatu, berarti Allâh mencintai. Anggapan ini salah. Karena kehendak tidak harus sama dengan kecintaan.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki dengan takdir-Nya adanya kekafiran, tetapi Allâh membencinya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allâh tidak memerlukan (iman)mu, dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu. [Az-Zumar/39:7]

Imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan: sesungguhnya walaupun Allâh menghendaki kemaksiatan secara takdir, namun Dia tidak mencintainya, tidak meridhainya, dan tidak memerintahkannya. Bahkan Allâh membencinya, memurkainya, tidak menyukainya, dan melarangnya. Ini adalah pendapat Salaf semuanya. Mereka mengatakan, ‘Apa yang Allâh kehendaki pasti terjadi, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi”. [Syarah ath-Thâhawiyah, 1/78]

DUA MACAM IRADAH (KEHENDAK) ALLÂH
Sebagian manusia menjadi sesat dengan sebab berpegang dengan sebagian dalil dan meninggalkan dalil lainnya. Jalan yang lurus adalah berpegang dengan semua dalil dan menempatkannya di tempat masing-masing, karena sesungguhnya tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Termasuk dalam memahami iradah (kehendak Allâh). Sebagian manusia sesat dengan sebab mengingkari takdir, sebaliknya sebagian yang lain juga sesat dengan mengingkari syari’at yang memerintahkan beramal dan berusaha.

Imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata, “Para ulama muhaqqiq (peneliti; pencari kebenaran) Ahlus Sunnah mengatakan, “Iradah (kehendak Allâh) di dalam kitab Allâh ada dua macam: Iradah Qadariyyah Kauniyyah Khalqiyyah, dan Iradah Diniyyah Amriyyah Syar’iyyah. Iradah syar’iyyah memuat mahabbah (kecintaan) dan ridha (Allâh), sedangkan iradah kauniyyah adalah kehendak Allâh  yang mencakup semua kejadian”. [Syarah ath-Thâhawiyah, 1/79]

1.Iradah Kauniyyah
Iradah kauniyyah Allâh sama dengan masyi’ah Allâh. Yaitu kehendak Allâh yang mencakup semua kejadian pada makhluk-Nya. Kehendak Allâh yang pasti terjadi. Kehendak Allâh ini tidak mesti dicintai oleh-Nya, tetapi Dia melakukan apa yang Dia kehendaki dengan ilmu-Nya, dengan kekuasaan-Nya, dan dengan hikmah-Nya. Karena semua perbuatan Allâh pasti disertai hikmah, baik kita memahami atau tidak memahaminya.

Adapun dalil-dalil Iradah Kauniyyah antara lain sebagai berikut:

Petunjuk dan kesesatan seseorang adalah dengan kehendak Allâh . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allâh kesesatannya, niscaya Allâh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. [Al-An’am/6:125]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang perkataan Nabi Nuh Alaihissalam kepada umatnya:

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ اللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُغْوِيَكُمْ ۚ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allâh  hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Rabbmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. [Hûd/11:34]

Peperangan yang terjadi adalah dengan kehendak Allâh . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ

Dan kalau Allâh menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allâh  menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allâh berbuat apa yang dikehendaki-Nya. [Al-Baqarah/2: 253]

2.  Iradah Syar’iyyah
Iradah syar’iyyah adalah kehendak Allâh terhadap sesuatu yang Dia cintai. Kehendaki syar’iyyah Allâh ini diketahui dengan perintahNya, dengan agamaNya, dan dengan syari’atNya. Karena semua perintah Allâh  itu Dia cintai. Namun  iradah syar’iyyah Allâh  belum tentu terjadi. Dan semua perintah Allâh  maka  Dia tetapkan dengan ilmu-Nya, dengan kekuasaan-Nya, dan dengan hikmah-Nya. Karena semua perbuatan Allâh pasti disertai hikmah, baik kita memahami atau tidak memahaminya.

Adapun dalil-dalil iradah syar’iyyah antara lain sebagai berikut:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا

 Dan Allâh berkehendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). [An-Nisa’/4:27]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ini adalah Iradah Syar’iyyah (kehendak Allâh yang berkaitan dengan syari’at), dengan makna mahabbah (kecintaan). Karena seandainya iradah ini bermakna masyi’ah (kehendak Allâh yang pasti terjadi), niscaya taubat akan terjadi kepada semua manusia, padahal kita melihat sebagian manusia ada yang bertaubat, dan sebagian lainnya tidak bertaubat”. [Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin, 3/199]

Contoh lain adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allâh tidak berkehendak menyulitkan kamu, tetapi Dia berkehendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [Al-Maidah/5:6]

Ayat ini berkaitan dengan kewajiban berwudhu’ jika akan shalat, ketika seseorang dalam keadaan berhadats kecil. Demikian juga kewajiban mandi jika seseorang dalam keadaan berhadats besar. Namun jika tidak ada air untuk berwudhu’ atau mandi, maka Allâh  memerintahkan bertayammum. Dengan perintah wudhu’ dan tayammum ini, Allâh menghendaki dengan syari’at-Nya agar tidak menyulitkan orang-orang beriman, berkehendak membersihkan mereka dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka, supaya mereka bersyukur.

Namun dalam kenyataan, sebagian manusia melakasanakannya, namun sebagian yang lain tidak melaksanakannya. Dengan demikian kehendak ini bermakna kecintaan, bukan bermakna kehendak yang pasti terjadi.

Untuk memperjelas masalah ini kita simpulkan perbedaan dua kehendak Allâh tersebut:

  1. Iraadah kauniyyah Allâh pasti akan terjadi, sedangkan  iraadah syar’iyyah Allâh tidak mesti terjadi.
  2. Iraadah kauniyyah Allâh mencakup apa yang Allâh cintai dan apa yang tidak Allâh cintai. sedangkan  iraadah syar’iyyah Allâh  hanya mengenai apa yang Allâh cintai.
  3. Iraadah kauniyyah Allâh berkaitan dengan takdir Allâh, sedangkan  iraadah syar’iyyah Allâh berkaitan dengan perintah-Nya.

ALLÂH MEMBENCI KEKAFIRAN, KENAPA MENTAKDIRKAN ADANYA?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan masalah ini. Beliau rahimahullah berkata: “Jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala membenci kekafiran, maka mengapa Allâh menghendaki adanya kekafiran, padahal tidak ada seorangpun yang memaksa Allâh? Jawabnya adalah: Bahwa sesuatu yang dikehendaki itu ada dua jenis:

Pertama: Dikehendaki karena dzatnya. Ini adalah sesuatu yang disukai. Orang menghendaki sesuatu yang disukai adalah karena dzatnya. Seperti iman. Iman ini dikehendaki oleh Allâh secara takdir dan syari’at, karena iman adalah sesuatu yang dikehendaki karena dzatnya.

Kedua: Dikehendaki karena lainnya. Dengan makna bahwa Allâh mentakdirkannya bukan berarti Allâh mencintainya, tetapi karena  hal itu akan menghasilkan berbagai mashlahat (kebaikan). Maka ini dikehendaki karena lainnya. Maka dari sisi ini mengandung hikmah, dan tidak ada paksaan padanya.

Contohnya adalah kekafiran. Kekafiran dibenci oleh Allâh, tetapi Allâh menakdirkan terjadi pada manusia.

Karena jika tidak ada kekafiran, maka tidak akan terpisah orang Mukmin dengan orang kafir. Jika tidak ada kekafiran, maka orang Mukmin tidak berhak dipuji, karena semua manusia beriman. Demikian juga tidak ada jihad, kepada siapa orang Mukmin akan berjihad? Jika tidak ada kekafiran, orang Mukmin tidak mengetahui kadar nilai Islam. Jika tidak ada kekafiran, semua orang sebagai orang Islam, sehingga Islam tidak memiliki keutamaan, atau keutamaannya tidak tampak. Jika tidak ada kekafiran, maka penciptaan neraka menjadi sia-sia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala sudah mengisyaratkan makna ini di dalam firman-Nya:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ ﴿١١٨﴾ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ 

Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allâh menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. [Hûd/11: 118-119]

Maka menjadi jelas bahwa yang dikehendaki dari takdir Allâh, yang dibenci oleh Allâh, adalah dikehendaki karena yang lainnya”. [Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin, 3/201]

Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin membuat contoh dengan perbuatan manusia. Beliau berkata, “Aku akan membuat contoh, dan Allâh memiliki sifat yang paling sempurna. Ada seorang bapak yang memiliki anak laki-laki yang sangat dia cintai. Seandainya bunga api mengenai anaknya, maka itu seperti mengenai hatinya, karena sangat cintanya. Kemudian anak itu sakit dan dibawa ke dokter. Dokter berkata, “Anak ini harus di kay (diobati dengan ditempel) dengan paku yang dibakar”. Sang bapakpun setuju. Kay untuk anak ini tidak disukai sang bapak, tetapi dia menyukainya karena hal lainnya (yaitu kesembuhan anaknya). Sehingga sang bapak itu menghendaki anaknya dikay dengan tenang dan lapang dada. Sekarang kita mengetahui bahwa sesuatu yang dibenci terkadang dilakukan, bukan karena dzatnya, tetapi karena lainnya. Maka adanya kekafiran, kemaksiatan, dan kerusakan, dikehendaki oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala karena memuat mashlahat-mashlahat lain, sehingga ini dikehendaki karena lainnya, bukan karena dzatnya”. [Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin, 3/202]

Ini adalah sebagian dari hikmah kehendak Allâh, dan hikmah-hikmah lainnya yang tidak diketahui masih banyak lagi.

Dengan pengetahuan kita terhadap iradah Allâh ini maka kita bisa memetik manfaat sebagai berikut:

Kita menggantungkan harapan kita, rasa takut kita, dan seluruh perbuatan kita kepada Allâh. Karena segala sesuatu terjadi dengan iraadah kauniyyah Allâh. Maka kita harus bertawakkal kepada-Nya semata.

Kita melaksanakan apa yang menjadi kehendak syar’iyyah Allâh, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, karena hal ini dicintai oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Hanya Allâh Tempat Memohon pertolongan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XXI/1435H/2013M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/10991-sifat-masyiah-dan-iradah-allah-subhanahu-wa-taala.html